Mulai dari pagi
yang tergesa-gesa, siang yang sibuk dengan meeting dan deadline, hingga malam
yang terkadang masih menyisakan to-do list tak berujung. Kadang kita lebih
sering duduk di kursi kantor daripada di ruang tamu rumah sendiri.
Wajar kalau
tempat kerja terasa seperti rumah kedua.
Di sana ada meja yang jadi saksi ide-ide cemerlang dan air mata yang tertahan.
Ada rekan kerja yang jadi sahabat seperjuangan.
Ada rutinitas yang membentuk ritme hidup kita. Bahkan, ada rasa nyaman yang
pelan-pelan tumbuh, hingga membuat kita lupa waktu.
Tapi, jangan
sampai karena terlalu nyaman di rumah kedua, kita lupa pulang ke rumah pertama.
Rumah pertama
bukan hanya bangunan.
Tapi tempat kita bisa menjadi diri sendiri tanpa topeng, tanpa peran, tanpa
tuntutan.
Tempat kita bisa meletakkan semua beban, menyalakan kembali hati yang lelah,
dan mengisi ulang energi yang mulai terkuras habis.
Di rumah pertama,
kita recharge bukan hanya tubuh tapi juga jiwa.
Di sana ada peluk yang tak menuntut performa.
Ada makanan hangat yang bukan dari aplikasi, tapi dari tangan penuh cinta.
Ada tawa kecil yang tak bisa dibeli.
Ada kesunyian yang menyembuhkan.
Pekerjaan
penting, iya.
Tapi jangan sampai demi performa, kita lupa menjaga jiwa.
Jangan sampai kita lupa, bahwa performa terbaik di kantor lahir dari jiwa yang
sehat, pikiran yang lapang, dan hati yang tahu cara pulang.
Jangan sampai
sibuk memperbaiki laporan, tapi lupa memperbaiki hubungan.
Jangan sampai fokus menyenangkan atasan, tapi lupa menyapa keluarga yang selalu
ada.
Dan jangan sampai terlalu larut di dunia kerja, sampai kehilangan rumah yang
sebenarnya.
Karena rumah
pertama bukan hanya tempat kita pulang,
tapi tempat kita hidup kembali utuh, penuh, dan apa adanya.
Jadikan tempat kerja
menjadi rumah kedua, tapi jangan lupa selalu pulang ke rumah pertamamu di mana
kamu diterima apa adanya, tanpa tuntutan selalu tampil sempurna.
No comments:
Post a Comment